Little Nisa (part 8)
“Waah, rajin bangeet. Sekalian disapu semua, ya! godaku pada kawan sebangku aku. Dia hanya sedikit menoleh, sambil menjulurkan lidah. Kembali melanjutkan piketnya. Aku selesai menaruh
“Waah, rajin bangeet. Sekalian disapu semua, ya! godaku pada kawan sebangku aku. Dia hanya sedikit menoleh, sambil menjulurkan lidah. Kembali melanjutkan piketnya. Aku selesai menaruh
Dalam benak Nisa, belum tersimpan banyak pengetahuan. Dulu, sewaktu masih bersama ibunya, tidak ada yang namanya dibacakan buku. Dinyanyikan lagu anak-anak. Apalagi, sampai melihat televisi.
“Sini, yuk!” Lina berdiri dari kasur. Berjalan keluar kamar. Dua anak manusia yang sesungguhnya banyak menyimpan takjub, mengekor begitu saja. “Inih … namanya televisi. Kalau
Aku kembali merapikan semua perlengkapan belajar yang masih ada di meja. Tak lupa, kubereskan pula milik Debby. Segera kusampirkan tas di pundak kanan. Tangan kananku
Selesai sudah hari yang penuh pengalaman baru. Bayangkan, akhirnya aku bisa menyanyi. Biar saja, nada dan suara belum seirama. Nanti pasti bakal diajari lagi. Perhatian
Majalah anak, mulai kukenal. Sebut saja: Kuncung, Bobo, Donal Bebek, Tintin, Nina, dan masih banyak lagi. Tentunya, semua kunikmati berkat adanya penyewaan buku. Terkadang juga
Sudah dua minggu aku berada di rumah saja, keluar hanya untuk membeli kebutuhan penting. Itu pun hanya di warung Ceu Entin yang jaraknya lima rumah
Andai aku menjadi pohon beringin. Pasti tubuhku kuat, rambutku lebat, dan bisa meneduhkan orang lain,” katamu. Aku hanya bisa mendengar semua harapan dan keluh kesah
“B-u, bu. D-i, di. Bu … di. Nah, sekarang kamu coba lanjutin sendiri. Om nyimak, ya!” perintah pria yang berstatus anak bungsu dari nenekku itu.
Lahan pemakaman, malam hari. Aku masih berdiri tegak di permukaan tanah merah. Saat semua manusia sedang tertidur dan beristirahat, aku tetap membuka mata bersama teman
© 2023 Blog Bodi. | Privacy Policy | Disclaimer