Sudah dua minggu aku berada di rumah saja, keluar hanya untuk membeli kebutuhan penting. Itu pun hanya di warung Ceu Entin yang jaraknya lima rumah dari sini. Tidak ada istilah mati gaya selama ponsel masih pintar. Semua informasi yang kuperlukan ada di sana.
Aku tidak tahu, pada saat seperti ini, apa yang harus dilakukan? Semua orang bagiku sama saja. Mereka seakan terlihat seperti ular berbisa, yang sewaktu-waktu bisa saja menyemburkan racun padaku.
Menurutku, rumah adalah tempat terbaik untuk melindungi diri dari racun yang berdasarkan berita di TV sudah menyebar ke seluruh dunia. Lagi pula, tidak akan bosan berada di rumah. Karena, tetap bisa melakukan banyak hal, seperti; mengerjakan pekerjaan rumah, nonton televisi, atau main ponsel.
Ketakutanku semakin menjadi. Saat aku ke warung Ceu Entin, terlihat orang-orang di sana berubah wujud menjadi ular putih yang menjulurkan lidah runcing bercabangnya. Di jalan saat pulang, Bu RT sempat menyapaku, yang kudengar adalah sebuah ancaman, “Kamu tidak akan bisa ke mana-mana, racunku akan segera menyebar ke seluruh tubuhmu.” Tubuhku gemetar, rasa panas dingin menjalar ke seluruh tubuh membayangkan bagaimana aku akan mati karena racun dari Bu RT.
Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar menyelimuti seluruh tubuh dengan selimut tebal. Rasa sesak mulai terasa, entah karena pengap atau karena racun. Menurut informasi dari internet, tanda racun sudah menyebar adalah mengalami demam, panas, batuk, dan bersin. Mengapa badan rasanya seperti tidak enak?
Aku segera bangkit dan minum air sebanyak-banyaknya untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh. Berharap setelah ini, rasa sesak mereda. Akan tetapi, bukan sesak yang mereda. Saat minum dengan cepat, aku terbatuk-batuk. Firasat racun sudah menyebar di seluruh tubuhku pun semakin membuat lemas.
Aku mencoba mengingat kembali apa yang telah dilakukan dalam beberapa hari belakangan dan siapa saja yang telah kutemui hingga racun ini masuk ke tubuhku. Memang masyarakat di sini tidak terlalu peduli dengan racun yang menjadi ancaman di seluruh dunia.
Belum lagi di lingkungan rumahku yang berada di perkampungan. Para tetangga tanpa rasa takut, dengan bebasnya berkumpul dan bergosip riang di depan rumah. Biasanya, aku turut serta, tapi tidak untuk beberapa hari belakangan. Aku memutuskan tetap di rumah semenjak berita mengenai racun itu tersebar di berbagai portal berita.Tentunya, untuk menghindari racun mematikan yang mungkin saja mereka miliki.
Tidak berapa lama, Ibu datang dari dapur, membantu menepuk punggungku. Membuyarkan memori kejadian yang sedang kurangkai. “Kunaon, Neng? Pelan-pelan atuh minumnya.” Aku hanya diam merasakan sentuhan lembut Ibu.
“Ibu mau belanja dulu, itu di meja ada sayur sop dari Bu RT. Katanya, buat Neng. Bisi nuju sakit di bumi wae. Jangan lupa makan, ya.” Aku hanya mengangguk memperhatikan Ibu yang berlalu pergi.
Aku mendekati meja makan dan memandang sop dengan tampilan sungguh menggoda untuk dimakan. Namun, badanku masih terasa lemas setiap kali mengingat pertemuan terakhir dengan Bu RT. Akhirnya, aku memilih untuk tidur kembali.
Sore hari, badan terasa menggigil dan tubuh gemetar. Ibu segera memanggil Pak Mantri untuk memeriksa kondisiku. Tetangga-tetangga sudah berkumpul di rumah. Di sela-sela kesadaran, sempat kutangkap rasa khawatir mereka.
“Neng ga papa, Bu. Lebet angin hungkul. Makan sama minum obatnya yang teratur, ya,” kata Pak Mantri menjelaskan.
“Alhamdulillah,” ucap tetanggaku yang hadir menyaksikan penjelasan mantri, serentak.
Kini, baru kusadari. Mereka adalah tetanggaku yang terus memperhatikan dan peduli padaku. Bukan mereka yang menyebarkan racun, tapi justru aku yang menumpuk racun itu sendiri. Dengan cara menelan mentah-mentah banyak informasi di kepalaku. Sudah saatnya aku kembali bersama mereka dalam kehidupan nyata. Saling menjaga dan melindungi.
Retno Qren,
Tasikmalaya, 4/6/20
Note:
Lebet angin hungkul : Masuk angin aja.
Kunaon, Neng? : Kenapa, Neng?
Pak Mantri: Petugas kesehatan di Puskesmas.