“Waah, rajin bangeet. Sekalian disapu semua, ya! godaku pada kawan sebangku aku. Dia hanya sedikit menoleh, sambil menjulurkan lidah. Kembali melanjutkan piketnya.
Aku selesai menaruh tas di bangku. Kemudian, segera berjalan menuju meja Lina. Terlihat, dia sedang sibuk mengerjakan soal pelajaran. Entah yang mana.
“Lin, ntar jadi ‘kan? Tapi jangan ngisengin kaya kemarin dong! Gue lemes, tau!” pintaku pada Lina.
“Iyaa, gue sih ayo aja. Tanya Debby, gih! Bisa juga, gak?”
Pandanganku beralih ke penjuru kelas. Anak yang dimaksud, sedang merapikan meja guru. Menjiwai sekali rupanya. Kelas sudah terlihat bersih, akibat kerajinannya pagi ini.
“Deb, sini. Rajin bener! Bagi-bagi sama yang lain. Piket kan rame-rame. Ntar keenakan yang laen,” seruku memanggilnya.
Debby menoleh. Berjalan menghampiri meja Lina. Lengannya menyambar satu buku yang ada di atas meja. Dikibaskan bolak-balik mendekati wajahnya. Keringat mengucur deras dari pelipis dan dahinya.
“Hufftt, apaan sih. Manggil-manggil. Gak liat orang lagi repot?”
“Idih, siapa suruh kerajinan! Tuu liat, gak ada yang nyapu lagi. Sampah diborong semua sama lu!” gurauku sambil memonyongkan bibir.
“Gue gitu lho!” puji Debby sembari menepuk dadanya sendiri.
“Deb, ntar abis pulang sekolah, belajar bareng yuk!”
“Ayo aja. Gue udah ngomong kok sama mama gue.”
“Nah, tuuh Lin! Beres, udah!”
“Beres gimana, ngobrol mulu dari tadi. Pada inget gak, ada PR matematika?”
“Haah? Gawat!” Serempak, aku dan Debby terlongong. Untung saja tidak sampai menteskan liur.
“Wah, liat Lin! Lu udahan kan ngerjainnya?” Segera saja kusambar buku tulis yang baru saja tertutup.
“Eeh, dasar! Ntar balikin sebelum bel masuk, ya!” Lina hanya tertawa melihatku tergopoh-gopoh menuju meja.
“Debby! Sini! Lu emangnya gak mau nyalin juga?”
“Iye, gue ikutan. Kan kalo lu udah nyalin, gue liat punya lu aja.”
Aku pun mendelik ke Debby. Bisa-bisanya dia setenang itu. Walaupun yang dikatakannya tidak salah juga. Dasar saja, aku mudah dibuat panik.
*****
Usai jam sekolah. Kami bertiga berjalan menuju ke rumah Lina. Kali ini, aku yang memilih jalan pulang. Menghindari kemungkinan diusili kembali.
Setibanya di rumah Lina, kami beristirahat melepas penat. Tak lama kemudian. Kami bertiga sudah serius menekuri pelajaran yang akan dibahas bersama. Dengan ilmu, kami belajar. Bersama ilmu, kami bersahabat.
Belajar bersama , sudah dimulai. Lina sangat pintar berhitung. Debby juga. Aku hanya diam saja. Namun, saat membahas pelajaran IPA, IPS, dan PMP, ganti aku yang sombong.
“Nisa, kok bisa sih! Lu apal segala nama tempat. Truss pertanyaan yang ngebingungin gitu dari PMP?” Kedua temanku saling menggerutu.
“Hee, soalnya … gue sering baca bukunya kalo di rumah. ‘Kan ngga perlu nanya siapa-siapa? Kalo matematika apa agama, harus nanya orang lain!”
“Ya ampun. Lu tanya orang rumah lah!”
“Siapa? Nenek gue? Gue aja ngga tau, Nenek gue sekolahnya sampai mana!”
Maka, dua orang yang baik hati itu bergantian mengajariku matematika. Kacau. Selalu saja aku dimarahi, diejek, tetapi berujung dengan gelak tawa. Mereka tertawa, aku tetap saja bingung.
Waktu terus beranjak mendekati petang.
Acara belajar bersama selesai. Tidak berapa lama, Lina masuk ke kamar. Kemudian keluar dari ruang tidur itu dengan membawa beberapa buku bacaan.
“Eh, mau bacaan ngga? Nih, gue ada Bobo, Kuncung, sama novel Lima Sekawan,” tawar Lina seraya menyodorkan yang disebutkan.
“Mau! Ngga nolak lah!”
“Tapi boleh bawa pulang, ya! Udah mau sore nih!” Aku memilih Bobo dan Kuncung. Banyak gambarnya.
“Iya, sama! Gue juga, buat baca di rumah, ya Lin!” Debby rupanya memilih Bobo juga.
“Bawa aja! Besok tapi balikin ya? Soalnya itu koleksi gue,” sambung Lina menjawab susulan respon kami.
“Lin, lu beli di mana,majalah kaya gini?”
“Langgan. Tiap minggu ada yang nganter, tukang koran.”
“Wah, enak dong! Berarti gue bisa pinjem terus, ya!”
“Boleh! Asal jangan robek, ya! Pesen Mama gue soalnya ‘gitu, Nis! Kalau robek, ntar gue ngga boleh langganan lagi.”
“Oh, gitu. Oke, deh! ‘Makasih, ya!”
Saat selesai bicara, Debby sudah menghilang. Kususul keluar ruang tamu. Rupanya dia sudah siap untuk pulang.
“Idih! Pulang ngga ngajak-ngajak! Nyebelin! Aku mencibirkan mulut. Beranjak memakai sepatu.
“Salah sendiri, bawel. Kalo nanya tuh ngga usah kebanyakan. Ya, kan Lin?” sungut Debby.
“Aduh, yang akur napa sih? Tiap hari berantem mulu. Heran gue, kalo di kelas kok bisa anteng!”
“Tau, tuh! ‘Emang lu belom tau, Lin? Kalo Debby tuh ngemilnya cabe kering?”
Sehabis melontarkan godaan itu, aku pun segera mengambil langkah seribu. Menghindari cubitan ala kepiting lapar dari jemari Debby.
“Nisaaa, awas ya lu …!”
Berkat rutin belajar bersama, kami semakin akrab. Ujian Cawu tinggal menghitung hari saja. Kedua temanku lumayan sabar mengajariku. Namun, tetap saja, aku pusing jika melihat susunan angka. Ternyata, menggambar dan membaca, lebih menyenangkan.
Masing-masing dari kami bertiga, menyukai pelajaran yang berbeda. Lina sangat cepat mengerjakan soal hitungan. Debby menonjol di pelajaran menyanyi dan IPA. Aku, tergantung nasib saja. Entahlah, sepertinya bermain dan berbicara dengan orang lain sangat menarik minatku.
Akibat aku terlalu lama tidak punya teman sebaya, bisa saja. Untungnya, saat di kelas aku tidak berani mengobrol. Perhatian terpusat pada penjelasan guru saja. Sesekali, Debby menyodorkan buku tulis padaku, jika ada yang hendak disampaikan. Akan tetapi, aku memang tidak suka berpindah perhatian jika sedang konsentrasi.
Saat jam istirahat, di sekolah. Lina menghampiri mejaku.
“Nisa, lu kok ngga jajan? Ikut yuk, gue jajanin deh!”
“Eh, nggak ah! Kata Nenek gue, ntar sakit perut!” kilahku, “lagian, gue biasanya juga makan kalo udah siang. Mules gue, jam segini kemasukan makanan!”
“Oh, gitu. Gue ke kantin dulu, ya!”
“Ikut, Lin! Pengen tau, ada jajanan apa aja.” Aku segera berdiri dan menyusul Lina keluar kelas.
Macam-macam yang dijual di kantin. Mulai dari gorengan, bakso, donat, nasi uduk, dan batagor. Lumayan terbit air liurku. Sekian ragam jajanan itu, hanya gorengan yang aku tahu rasanya. Mataku tak lepas memandangi donat. Lucu. Kok bisa bolong tengahnya. Bagaimana cara memasaknya?
Tidak lama, bel pun berbunyi. Aku berjalan sendirian menuju kelas. Bayangan donat bulat dan bolong, terus saja menghantuiku. Mudah-mudahan, Nenek bisa membuat donat. Kalau bubur kacang ijo saja bisa, pasti donat pun bisa.
“Hoii, ngelamun! Tumben lo, keluar kelas. Biasanya di dalem mulu!”
“Donat! Eh, kok donat? Debby, iih! Apaan sih! Ngagetin gue aja!” Debby menepuk pundakku sambil tertawa. Kucubit hidungnya yang mancung. Dia paling benci, jika ada yang melakukan itu. Biar saja, salah sendiri, usil.
“Aah …! Jangan mencet idung gue! Noh, liat! Bu Suryati udah jalan ke sini. Buruan, masuk kelas!”
Segera saja. Semua murid yang masih di depan kelas, berlarian menuju bangku masing-masing. Bu Suryati paling tidak suka jika ada yang terlambat masuk kelas.