“Sini, yuk!” Lina berdiri dari kasur. Berjalan keluar kamar. Dua anak manusia yang sesungguhnya banyak menyimpan takjub, mengekor begitu saja.
“Inih … namanya televisi. Kalau sore, jam lima, baru ada siarannya. Sekarang gelap. Dinyalain juga, isinya semut berantem!”
“Apa Lin? Semut berantem? Kaya ‘gimana tuh semut kalo berantem?”
“Ih, dasar cerewet ya, si Nisa! Pokoknya ngga ada siarannya. Gelap, udah gitu ajah!”
“Oh … ngga ada siarannya. Tapi, siaran tuh apaan, Lin?”
“Ya Tuhan! Nih … nih, bawa deh buku-buku gue. Nyampe rumah, baca semua.”
“Wah, beneran? Boleh, gue bawa pulang? ‘Makasih, ya!” pekikku bagaikan mendapat durian runtuh.
“Lina, lu usil banget sih. Orang mau ujian, malah lu suruh baca yang bukan buku pelajaran,” teriak Debby dari arah luar ruang tamu. Rupanya dia sudah bersiap untuk pulang.
“Eh, bener juga ya. Ntar aja ya, Lin! Abis ujian, ya. Besok Kita beneran belajar bareng, dong! Udah deket nih!” Aku pun mengembalikan setumpuk buku yang semula disodorkan Lina.
“Hmm, ya udah. ‘Ga apa-apa. Besok ke sini lagi aja. Tapi jangan dikejar anjing lagi, ya!” canda anak perempuan yang tubuhnya lebih tinggi dariku, lebih gemuk juga.
“Huuu, dasar lu! Ya jangan dong! Awas aja, kalo ngerjain gue lagi!” ancamku seraya mengepalkan tangan kanan. Sejurus kemudian, tawa kembali hadir di antara kami.
“Yuk, ah! Ngobrol mulu! Mama gue pasti bingung nih. Nyariin anak cantiknya belon balik ke rumah!” kelakar anak aceh berhidung mancung.
“Dah, Lina. Pulang dulu ya. Makasih! Eh iya, ntar pamitin juga ke Bibi lu, ya. Bilangin masakannya enak! Besok bikin lagi!” Kami bergantian mengucap pamit pada Lina, tak lupa juga pada Bibi, yang membantu pekerjaan rumah tangga di tempat temanku itu.
Pulang. Kembali berjalan berdua.
Pertemananku kini, bertambah menjadi bertiga. Menyenangkan. Ternyata memiliki kawan yang bisa diajak bersenda gurau dan belajar bersama, bukan hal yang mustahil.
Walaupun harus diwarnai dengan peristiwa dikejar anjing. Ah, unik!
Setiba di rumah, Nenek sudah di ruang tamu. Selesai mengucap salam, kucium punggung tangan yang tak lagi kencang itu.
“Dari mana, Nisa? Tumben, pulangnya hampir sore?”
“Tadi langsung ke rumah teman, Nek. Belajar bersama. Kemarin ‘kan sudah ijin, pasti Nenek lupa, ya?”
“Oh, ya sudah. Maklum, Nenek udah tua!” Senyum tersembul dari wajah yang teduh itu.
“Ya … ‘kan namanya juga nenek-nenek. Tapi, tadi belum jadi belajarnya. Malah Nisa diusilin. Jadinya dikejar anjing. Takut, Nek.”
“Lho, kok bisa? Kenapa ngga lari?”
“Ya, lari lah Nek. Untung aja, rumah-rumahnya pada ngga pake pagar. Malahan, ada tangga buat naik ke atas. Selamet, deh!”
“Ada yang Luka, ngga?” Nenek bertanya sambil menyapukan pandang ke tubuhku.
“Ngga, Nek. Tadi trusannya malah dikasih makan siang di rumah temen. Oh iya, Nek. Televisi itu, apa? Nenek punya, ngga?”
“Wah, wah … wah! Kamu belum tau, televisi? Ganti baju dulu, sana. Nanti, Nenek kasih tau, di mana televisinya.”
“Lho, jadi …? Kita punya televisi?”
Belum selesai aku bertanya, Nenek sudah berjalan menuju kamar. Biarlah, mungkin tadi waktu istirahatnya tertunda karena menunggu kepulanganku.
Hei …!
Aku punya televisi!
‘Duh, penasaran ….
Sedikit berjingkat, aku memasuki kamar. Berharap tidak membangunkan Nenek yang tengah terlelap. Menaruh tas di sudut kamar. Kemudian segera menuju kamar mandi. Baju ganti, sudah kubawa sekalian. Nenek selalu mengingatkanku untuk tidak keluar kamar mandi hanya berbalut sehelai handuk.
Sesudah mandi, badan kembali segar. Menikmati udara sore sembari duduk di depan pintu. Kebetulan, posisi rumah nenek lumayan lebih tinggi dari jalan. Letak yang tepat menikung di pinggir jalan gang, menciptakan sensasi tersendiri. Tampak dua rumah di seberang, ada pohon yang daun dan buahnya kecil-kecil berwarna hijau kekuningan. Buah ceremai, seingatku. Akan tetapi, aku belum pernah mencicipi.
Sedangkan tepat di sebrang rumah ini, ada rumah dengan halaman yang cukup luas. Pohon rambutan yang berbuah lebat, menjadi satu-satunya penyejuk mata. Tiba-tiba, terbit senyumku. Menyaksikan di teras rumah itu sederetan perempuan duduk membentuk barisan. Runut, dari yang tinggi sampai yang rendah.
Semuanya memegang kepala orang dihadapannya. Di dekat mereka duduk, ada kaleng kecil. Sesekali, gerakan tangan mengurai helaian rambut, hingga ujung. Kedua ujung jari seperti menjepit, lalu ditekan ke kaleng. Begitu terus, entah kapan selesai. Posisi kepala yang dipegang, kadang miring, kadang menunduk. Serius sekali. Sedang apa sih, mereka itu?
“Nisa … lagi ngapain di situ?”
“Eh, ini … Nek. Ngeliatin tetangga sebrang rumah. Pada asik megangin rambut yang duduk di depannya,” jelasku pada Nenek.
Nenek pun melongokkan leher melalui kaca jendela rumah yang menghadap ke Sana.
“Itu namanya … cari kutu. Hewan yang ada di rambut,” ucap Nenek yang segera berbalik badan menjauhi jendela.
“Kenapa bisa ada kutu? Kaya apa rasanya?”
“Yaah, bisa aja. Kalau kurang bersih keramasnya. Malas sisiran, sampe berhari-hari.”
“Ih! Masa sih, Nek? Nisa gak mau kutuan, ah!”
“Ya kalo gitu, keramas yang rajin. Sisiran yang betul. Rambutmu kan keriting, kutu seneng sama rambut keriting,” gurau Nenek sambil terkekeh.
“Haa? Nenek jangan bohong! Nisa gak mau, ah Nek! Masa kutuan? Hiiyy …!
“Oiya, katanya … Nenek mau ngasi tau televisi di rumah ini. Mana, Nek? Penasaran banget Nisa jadinya,” cecarku bertubi-tubi. Sekalian saja, mumpung aku teringat benda yang baru kutahu namanya, belum wujudnya.
“Haish, cerewet juga ya, kamu! Ayo sini, Nenek kasi tau tempatnya.”
Aku beranjak dari depan pintu. Mengikuti langkah Nenek menuju ruang makan.
“Naah, ini dia!” Nenek berkata sambil mengangkat tudung kain yang menutupi kotak terbuat dari kayu. Ternyata, di situ letaknya. Merapat ke tembok yang membatasi halaman samping. Jarang juga aku melihat kotak itu terbuka.
“Lho, itu televisi? Kok kecil, Nek?” protesku pada Nenek.
“Kecil bagaimana? Itu termasuk besar. Lihat saja, ada kakinya empat buat nyanggah badan televisi,” terang Nenek.
“Eeng … maksudnya, kalo ukurannya cuma segitu, terus ‘gimana caranya orang-orang masuk televisi?”
Seketika, Nenek tergelak. Memperlihatkan jajaran geligi yang masih utuh dan bersih bersinar. Kedua matanya sampai menyipit. Diusapnya pucuk kepalaku. Aku suka, yang terakhir.
Entah di mana letak lucunya. Akhirnya, aku hanya meringis, malu. Pasti, pikiran Nenek sama saja dengan kedua temanku, Lina dan Debby.