Aku kembali merapikan semua perlengkapan belajar yang masih ada di meja. Tak lupa, kubereskan pula milik Debby. Segera kusampirkan tas di pundak kanan. Tangan kananku menenteng tas kepunyaan teman sebangkuku.
Aku berjalan menuju meja Lina. Sepertinya dia sudah siap untuk pulang. Meja dihadapannya sudah kosong.
“Nah, jadi gitu Lin. Tempatnya bisa di rumah gue, kan ngga terlalu jauh dari rumah lo.” Rupanya Debby sudah menyampaikan rencana kami.
“Hm … boleh aja sih. Tapi mendingan di rumah gue aja, ya! Soalnya, orangtua gue kerja semua. Gue ngga dibolehin main jauh-jauh. Gimana?”
Aku dan Debby saling bersitatap.
“Gue sih, ga masalah. Udah ijin kok. Tau deh si Debby,” tukasku memberi penjelasan pada kedua temanku.
“Waah, gue belom ijin ke Mama gue. Berarti ntar gue balik dulu ya. Truss nyusul ke rumah Lina.”
“Oke. Eh, iya. Kita pulang barengan aja. Sekalian gue ngasi tau di mana rumah gue. Biar orang cantik ngga kesasar!”
“Iiihh, apa sih! Malesin banget, bahasnya cantik mulu. Kan gue ngga minta dilahirin jadi cantik banget,” kelakar Debby sembari mengibaskan ekor rambutnya.
“Huuu, norak! Kepedean deh!”
Serentak kami tertawa bersama.
Bertambah satu, kawan yang kukenal dekat. Bahagia menelusup di dada. Sembari berjalan pulang, benakku Tak henti bersyukur. Kedua temanku, punya banyak keistimewaan. Debby yang memang sangat cantik, seluruh guru senang melihat kecantikannya. Lina, yang anak sepasang dokter di Angkatan Laut.
Aku … siapa?
Bahkan orangtuaku saja tidak utuh. Mamaku hanya sebentar merawatku. Papa, entah di mana sosoknya. Sama sekali tak ada jejak bayang sosoknya dalam ingatanku.
Akhirnya, kami pulang bertiga. Komplek rumah Lina hanya berbatas tembok dengan lokasi sekolah. Namun begitu, tetap saja memilih jalan memutar. Yaitu, melewati jalan belakang sekolah.
Sedang asyik berjalan beriringan bertiga, Lina mendadak berhenti.
Aku yang persis di sebelahnya, ikut terdiam.
“Eh, napa Lin? Udah sampe, ya?”
“Bu-bu … kan. It-it-ituuu …,” gagap Lina mendadak disertai rona wajah yang memucat.
“Itu … apaan, sih?” selaku semakin bingung sekaligus tidak sabar.
“ITUUU … ADAAA ANJIING! LAAARIII!” teriak Lina meninggalkan aku dan Debby. Tidak jauh dari tempat kami, terlihat seekor anjing putih berlari menuju lokasi kami. Tanpa menunggu komando kedua, semua menyelamatkan diri.
Aku tak tahu, ke mana larinya yang lain. Yang kuingat, saat berlari terlihat olehku sebuah rumah dengan halaman Tak berpagar. Kebetulan, ada tangga di samping rumah yang menuju lantai atas.
Segera saja, kunaiki tangga tersebut. Sekali loncat dua anak tangga langsung kudaki. Siang hari yang mengenaskan.
Sampailah di ujung anak tangga. Napas masih memburu. Reflek, aku terduduk lemas. Ada yang menyambangiku. Mungkin si pemilik rumah.
“Kenapa, dek? Kok sampe ngos-ngosan gitu?” Terdengar gonggongan anjing di ujung bawah lantai. Herannya, makhluk berekor dan bermoncong panjang itu, tidak mengejarku sampai tangga teratas.
Aku menjawab dengan gerakan tangan menuding ke binatang berkaki empat di bawah sana. Kedua pelupuk mataku sudah dipenuhi air.
“Maaf, Mas. Anjing itu tau-tau ngejar. Saya takut anjing! Huhuhu, tadi saya jalan bareng temen saya, namanya Lina. Rumahnya di komplek ini, katanya. Hu … hu …,” mohonku pada pemuda yang terlihat dewasa, karena di atas bibirnya terhias kumis.
*Ooh … temannya Lina, ya? Iya, rumah dia di belakang tempat saya ini. Itu yang ngejar kamu, anjing saya. Mungkin tadi habis main dari luar, mau pulang. Lina tau kok, kalo Lassie piaraan saya,” jelas laki-laki tanggung itu dengan mimik wajah yang separuh menahan tawa.
“Hah?! Jadi …?”
“Iya … Lina emang suka usil. Dia kan sering main sama Lassie.”
“LINAAA …!”
Awas, kau.
Nantikan pembalasanku …!
Sungguh keterlaluan. Bisa-bisanya mereka mengerjaiku. Baju basah kuyup. Cacing di perut sudah unjuk rasa.
Saking kecewanya, kulangkahkan kaki dengan gontai. Belum sempat tahu di mana rumah Lina.
Tiba-tiba terdengar suara cekikikan dari arah belakang. Awas saja, kalau itu benar mereka.
“DOORR!”
“Hu-uh! Apaan sih! ‘Nyebelin, ngerjain gue sampe segitunya. Jahat!”
“Yaelah … ‘gitu doang marah. Nggak digigit ‘kan?” tukas Debby, memotong omelanku. Sedangkan Lina, meski ikut tertawa, tapi dia belum juga berkata apapun.
“Ya udah, rumah gue udah deket kok. Tinggal lurus doang, motong lewat lapangan volly. Tenaaang, ntar pada makan siang sekalian,” tawar Lina, “Lo ntar makan yang banyak, ya Nis! Capek kan abis lari-larian!”
“Awas Aja, kalo gue ‘gak boleh nambah. ‘Emang enak, dikejar anjing!?”
“Kagak! Hahaha!”
Pandangku menyapu kedua wajah mereka. Seketika, aku pun ikut tertawa. Begini rupanya, memiliki teman. Tidak selalu hal baik yang dibagi. Keisengan pun bisa ditularkan.
Siang itu, penuh dengan canda dan gelak tawa. Niat semula ingin belajar bersama, pupus sudah. Berganti mengobrol segala hal. Banyak yang belum kutahu.
Kami bersenda gurau di kamar Lina. Banyak buku bacaan anak-anak. Ada juga novel tentang detektif. Entahlah, aku belum membacanya. Tidak begitu tertarik, isinya hanya tulisan semua. Tak ada gambar menarik, apalagi berwarna.
Ada satu benda yang menarik perhatian. Bentuknya panjang, sedikit melebihi meja kelas. Saat membuka penutup atasnya, banyak garis kecil berwarna hitam putih.
Iseng, kutekan garis-garis tersebut.
Tring, dhong, ting, ting.
Kutengok Lina, ringisan senyumku tak dapat kusembunyikan.
“Itu, namanya piano. Alat musik. Tau, ga?” Kugelengkan kepala.
“Oh, kirain alat musik tuh cuma gitar sama gendang Aaa …,” ucapku seraya mengembalikan penutup piano.
“Ya nggak lah. Banyak. Emang lo beneran ngga pernah liat, di tivi gitu?”
“Ng … gaak, Nenek gue mana punya tivi?”
Kedua wajah temanku saling menatap satu sama lain. Lalu ….
“Nisaaa, kasiaaan deh lu!
Oh, tidak. Jangan lagi ….
Aku kembali menyeringai lebar. Sampai kedua mata hampir menyipit. Menggaruk kepala yang tak gatal. Grogi.
“Kenapa sih? Cuma ‘gak punya tivi doang, kok kasian? Emang ada apaan di tivi?”
“Haaah?” Mereka serempak terlongong kembali.
“Ha-he-ho mulu! Jelasin!”
Bergabung duduk di atas tempat tidur, aku dengan santainya memilih-milih bacaan yang terhampar di hadapan. Ada satu buku yang menarik. Sampul depannya bertuliskan ‘Donal Bebek’.
“Udah, Deb. Jangan diledekin mulu. Ntar ngambek, nangis. Gue pas gak punya balon. Hihihi,” seloroh Lina.