Selesai sudah hari yang penuh pengalaman baru. Bayangkan, akhirnya aku bisa menyanyi. Biar saja, nada dan suara belum seirama. Nanti pasti bakal diajari lagi. Perhatian utama tetap pada jadwal ujian cawu. Tulisanku harus lebih rapi.
Sore hari, usai menyiram tanaman di samping rumah. Terdengar suara Tante Risa mencariku. Aku bergegas menghampiri.
“Nisa … Nisa, di mana kamu?”
“Iya, Tante,” sahutku seraya mendatanginya.
“Ini, ada kertas buram. Lumayan, buat kamu pakai coret-coret pas belajar matematika atau untuk latihan menulis,” tawar tanteku sembari menyodorkan setumpuk kertas berwarna kuning kusam.
“O, iya. Terima kasih, Tan!”
Aku segera berlalu dari hadapan perempuan yang bekerja pada sebuah modiste itu. Ingin mengajak berbicara, tapi ada sedikit khawatir, waktu istirahatnya akan berkurang.
Kutekuni kertas buram itu sepenuh hati. Membariskan aksara. Semula, menyalin deretan kalimat dari buku cetak. Namun, selanjutnya kumulai menuliskan isi hati. Kerinduan pada sosok wanita yang melahirkanku. Ingatanku mengendap pada hari pertama aku tiba di rumah ini.
Mama, mama di mana? Nisa rindu, Ma. Sekarang Nisa udah sekolah. Mama kenapa ngga ngasi tau, kalo Nisa mau disekolahin? Nisa bingung. Nenek seringnya di kamar aja. Adek ya main sendiri. Nisa harus sering bantu Nenek. Tante bilang, Nenek sakit gula. Apa itu, sakit gula? Ma … kalo Nisa di sini, siapa yang sorong-sorongin kursi Mama? Badan Mama masih kuning ya? Mama sakit apa sih? Nisa pengen tidur dipeluk sama Mama. Pengen makan disuapin sama Mama. Ngga apa-apa, biar cuma nasi sama air panas pake garam. Eh, pernah juga ya, pake minyak bekas goreng ikan. Enak, Ma … asal Mama yang suapin.
Kertas buram itu, sudah basah. Baru kali itulah, semua gejolak hati tercurah. Walaupun sedih, ada selisip rasa lega. Seperti ada beban berat yang menindihku, terangkat sedikit. Memberikan celah udara. Meniupkan semilir angin.
Rupanya, tulisanku panjang juga. Sela jari manisku, sampai sedikit mencekung. Biarlah, yang penting hasil rangkaian abjad bisa terbaca jelas dan tampak rapi. Hari sudah sore, saat terdengar azan asar. Waktunya untuk membantu di dapur.
Memasuki dapur, penciumanku tergoda harum sambal. Sedikit pedas, hingga membuat hidungku yang pesek sedikit kegelian. Tak lama berselang, segera bersin. Kudekati tanteku yang sibuk memotong sayuran.
“Tante, ini mau dibikin apa? Sambelnya pedes juga, ya. Sampe perih idung Nisa.”
“Eh, kamu. Biasa lah. Kangkungnya ditumis, sambelnya buat campuran telur rebus yang digoreng. Suka ngga?”
“Waaah … telur rebus. Suka! Suka banget, malahan. Dulu pernah sih, makan itu, dibuatin sama Mama.”
“Ya udah, ini kamu lanjutin petikin kangkung ya. Tante mau ngegoreng, ‘nyampurin telur rebusnya ke sambel yang di wajan. Biar bumbunya meresap, mumpung masih panas.”
“Okee, siap!”
Setelah makanan tersaji di meja makan, kuberanikan bertanya pada tanteku. Selagi ada kesempatan, bisa sedikit bercerita perkembanganku belajar di sekolah.
“Hmm, Tante. Minggu depan, ‘udah mulai ujian cawu. Nisa boleh ngga, kalo pulang sekolah, mampir ke rumah temen,” ijinku pada orang yang telah berjasa mendaftarkanku masuk sekolah, “pengennya, belajar bareng. Pelajaran matematika ‘kok susah ya?” keluhku sembari diselingi menyuap sayur kangkung.
“Oh … kamu ‘udah mulai ujian, ya? Boleh aja, tapi jangan sampe sore ya. Temen kamu butuh istirahat juga, iya ngga? Nanti, kalo pas Om Wawan ngga cape, bisa minta diajarin sama dia,” usulnya seraya membereskan piranti makannya.
Tinggal lah aku, terpaku dalam hening.
Makanan yang tersisa sedikit, segera saja kuhabiskan. Setidaknya, ijin sudah didapat.
***
Matahari bersinar cerah. Seragam sudah kukenakan. Badanku tidak terlalu gemuk, seperti Lina, kawanku. Rambut ikal yang sering jadi olok-olok teman laki-laki di kelas, kali ini kuikat rapi. Selesai mematut diri di dalam kamar, aku beranjak menuju ruang tamu. Duduk di depan pintu depan, sambil menalikan sepatu.
Terdengar langkah Nenek, dari sandal yang dipakainya dalam rumah. Sakit gula yang diidap harus membuat perempuan yang pandai membuat olahan penganan itu selalu berhati-hati. Sedikit saja ada kulit tubuh yang terluka dan berdarah, bisa fatal.
“Nisa … kok tehnya ngga diminum. Kamu nanti lemas lho, di sekolah. ‘Kan kamu juga jalan kaki, nanti pusing di jalan, gimana?”
Aku memalingkan wajah sembari meringis. Terlalu gembira karena ingin cepat sampai di sekolah, malah lupa hal sepele tapi besar manfaatnya, sarapan. Walau hanya dengan segelas teh manis.
“Hehehe, maaf, ya Nek! Lupa,” sahutku sambil menyodorkan tangan guna menerima uluran gelas berisi teh manis.
Tandas, sekali hirup. Tak ingin buang waktu lama. Segera saja berdiri lalu meraih tangan kanan wanita setengah abad yang tetap terlihat guratan kecantikannya di masa muda.
“Nisa pamit, Nek.”
“Ya, hati- hati di jalan.”
Berangkat sekolah. Sepanjang jalan, pikiran sibuk merangkai kata. Menyampaikan berita gembira pada sahabatku, Debby. Semoga, niat belajar bersama nanti, bisa membuahkan hasil yang tidak mengecewakan.Little Nisa
Setibanya di sekolah, aku segera mencari sosok cantik dengan rambut melewati bahu itu. Tas sekolah milik dia, sudah terletak di bangku panjang. Mungkin sedang di kelas sebelah.
Setelah kusambangi ruang belajar di sebelah kelasku, tampak olehku, dia sedang asyik tertawa.
“Dorr!”
“Eh, kaget! Iih, si Nisa usil juga ya. Tumben, nyamperin ke sini. Pasti ada yang mo’ diomongin yaaa!”
“Hahaha, tau aja lo, Deb! Yuk, ke kelas. Dadah, Aan,” ajakku pada teman sebangku sambil melambaikan tangan pada lawan bicaranya, Aan.
“Ya ampun, segitunya. Pelan-pelan nape, sih. Lagian, bentar lagi juga bel sekolah bunyi,” cecar Debby sembari mensejajari langkahku, “percuma juga buru-buru narik tangan gue. Tuuh, dengerin. Udah bunyi kaan?!” omelan gadis cilik yang tingginya melebihi aku, masih terus berlanjut. Biar saja, cengirannya masih terlihat, bukan masalah.
***
Usai pelajaran terakhir, segera saja kuutarakan berita yang kutahan sepanjang pelajaran berlangsung.
“Deb, ntar jadi ‘kan, belajar barengnya? Gue udeh ijin kok, boleh!”
“Jadi lah! Ya udah, ntar kita ajakin Lina ya. Keknya dia pinter matematika. Gue sih senengnya sama IPA, gampang!”
“Huuw, somboong. Awas lu, kalo gue udah lancar baca, gue balap deh!”
“Hahaha, ya harus lancar dong! ‘Gimana bisa jawab soal ujian, kalo bacanya lama?” ucapan Debby seketika menyadarkanku. Membaca, harus jadi agenda utamaku. Sepertinya, aku harus lebih rajin menulis. Agar apa yang kubaca, bisa kuingat dengan baik.
Selesai jam pelajaran terakhir, kami bersiap-siap.
“Deb, lu ke bangku Lina gih! Ntar keburu pulang, ga jadi deh,”
“Iya, Nisa bawel. Duh, lu kok jadi gak sabaran sih,” sindir sosok yang berdarah asli Aceh itu.
“Biarin, emangnya lu aja yang boleh pinter? Gue kudu pinter, soalnya muka aja ngepas. Lu ‘kan cantik, modal di foto doang, bisa sukses! Hehehe”
“Yeee, ngawur lu. ‘Emangnya cantik itu bisa dibawa sampe mati? Kemaren ‘kan guru agama ngasi tau. Orang mati ituuu, yang ditinggalin ilmunya, buat nambah pahala. Bukan kecantikannya!”
“Amin. Udah, sono. Keburu ngilang tuh si Lina!”
Gadis berbibir tipis itu segera mendatangi meja Lina. Pelajaran baru saja usai. Beberapa masih ada yang tinggal dalam kelas.