“B-u, bu. D-i, di. Bu … di. Nah, sekarang kamu coba lanjutin sendiri. Om nyimak, ya!” perintah pria yang berstatus anak bungsu dari nenekku itu.
“Bu-bu … diii. Wa … wa … wa ….”
Belum selesai aku mengeja, pelupuk mataku sudah tak bisa melihat. Pandangan menjadi kabur, disusul buku yang menjadi basah. Rupanya, aku menangis. Entahlah, apa masalahku. Setiap kali berinteraksi dengan keluarga, selalu saja muncul rasa takut.
Kehadiranku dalam rumah nenekku, belum lama. Dari hasil mendengar pembicaraan orang dewasa beberapa bulan lalu, aku sudah waktunya sekolah. Apakah sekolah itu, bagaimana suasananya, tidak ada yang menjelaskan. Mungkinkah, sama dengan penjara? Ah, aku terlalu takut untuk bertanya. Pun begitu, tiada sosok nyaman ‘tuk memuarakan semua isi kepalaku.
“Ayo, Nisa! Kenapa jadi nangis? Cuma baca satu kata aja, lama amat?!” hardik Om Wawan padaku. Mendengar nadanya yang tiba-tiba meninggi, pecahlah tangisku. Seolah justru seperti gong pertanda mulainya sebuah acara.
“Huuuaaa … huuuaaa. Ni-ni sa … ngga tauu, huhuhu. Kemarin pas masuk sekolah, semua temen udah pada bisa baca. Cuma Nisa aja yang belum biiisssaaa, huuuaaa. Maafiinn Nisaaa, yaa Om. Huuuaaa, Mamaaa!” Seketika, berondongan isi hati terlontar tanpa bisa ditahan lagi. Seolah tersadar, aku memang baru sebulan bersekolah. Terlambat tiga bulan dari jadwal tahun ajaran.
Sebetulnya, tidak ada yang salah. Mungkin, beginilah kehendak takdir. Membuatku hadir ke dunia, tetapi lupa menuliskan bagaimana jalan nasib. Andaikan boleh memilih, pastinya bukan begini yang kumau.
Malamnya, aku tertidur masih dengan menggenggam buku bahasa indonesia. Buat apa aku sekolah? Tidak seorang pun di rumah ini yang memberitahuku tentang itu. Bahkan, sejak hari pertama sudah harus berangkat sendiri dengan berjalan kaki. Menempuh jarak setara tiga puluh menit.
Terbangun saat ditepuk bagian telapak kakiku oleh nenek. Sekejap, kebingungan melanda. Namun, sontak ingatanku kembali berbarengan dengan posisi badan yang menegak di kasur. Memandangi wajah nenek, berhiaskan keriput di sekitar mata, dahi dan bawah mata. Senyum lembut selalu terpasang di bibirnya.
“Nisa, bangun Nak. Sudah pagi. Sekolah,” bisik nenek seraya keluar kamar. Ya, aku sekamar dengan nenek.
“Hmm … iya, Nek. Terima kasih,” ujarku sembari merentangkan kedua tangan dan meliukkan badan. Bergegas aku menuju kamar mandi.
Selepas mandi, mematut diri sewajarnya di cermin. Tak lupa kurapikan tempat tidur. Kemudian memeriksa buku yang sesuai dengan jadwal hari ini. Mataku melirik buku bahasa indonesia. Sepertinya, aku harus meminta saran dari but guru. Tidak banyak waktu tersisa. Akhir bulan nanti, sudah akan dimulai ujian catur wulan pertama.
Di meja makan.
Sepi. Entah kemana yang lainnya. Sudah makin siang. Matahari mulai memancarkan rona emasnya. Meminum teh manis, mengemas setangkup roti dalam plastik kecil. Bekal untuk jam istirahat nanti di sekolah.
Di samping rumah, tampak nenek sedang duduk membelakangi arah sinar mentari. Berjemur, sudah jadi kebiasaan nenek setiap pagi. Kuhampiri nenek.
“Nek, Nisa berangkat ya. Terima kasih sudah dibuatkan sarapan,” pamitku sambil menggamit tangan kanannya lalu mengecupnya dengan takzim.
“Ya, hati-hati di jalan. Pulang sekolah, langsung ke rumah, jangan mampir kemana-mana,” balas wanita yang rambutnya sudah berganti warna putih secara keseluruhan.
“Hehehe, iya. Mudah-mudahan nggak nyasar lagi, hihihi,” tawaku sembari memamerkan barisan geligi putih.
“Assalamualaikum, Nenek Sayang!”
“Wa ‘alaikumussalam, Nak!”
Dua pekan pertama awal bersekolah, semua hal baru kualami. Banyak yang tidak aku pahami sebelumnya. Bukan hanya perkara baca-tulis, tapi juga cara bersikap dan bersosialisasi. Padahal, sikap orang-orang di rumah, sudah cukup membingungkanku. Tak pernah diajak bersenda gurau. Semua sibuk dengan urusannya saja.
Beruntunglah, hal sebaliknya kudapati di sekolah. Satu per satu mulai ada teman yang mengajakku bicara. Bukan sekedar mendekat lalu mencemooh. Akan tetapi, benar-benar mengajarkan pertemanan. Bahkan, saat kutahu rumahnya ternyata sering kulewati ketika pulang dan pergi sekolah, semakin akrab lah kami.
Sekali dua, aku sering singgah ke rumahnya, sepulang sekolah. Jika berangkatku lebih awal, sering juga jalan bersama menuju sekolah. Debby namanya. Kulitnya putih bersih, mirip orang bule. Matanya coklat muda, hidung mancung, rambut semi coklat dengan panjang sebahu. Suaranya sedikit serak, kalau bernyanyi merdu sekali.
Sesekali bermain di rumahnya, lambat laun aku pun akrab dengan keluarga Debby yang hanya dua bersaudara. Ayahnya membuka usaha percetakan. Ibunya, menerima jahitan di rumah. Aku mulai mengenal sebuah bentuk keluarga dengan mengamati mereka. Saat membandingkannya dengan keadaanku, tebersit tanya, kenapa aku tidak sama?
Saat itu, pulang sekolah. Aku berjalan bersama Debby. Sambil melintasi perumahan, kami bercakap-cakap.
“Deb, udah belajar belom, buat ujian? Gue bingung nih, nulis aja masih acak kadut, baca apalagi. Kalo matematika lumayan sih, dikit doang bingungnya,” ucapku membuka percakapan dengan sederetan tanya.
“Udah dong. Gue diajarin sama bokap gue. Kalo lo mo’ ikutan belajar, abis pulang sekolah aja. ‘Gimana?” tawarnya padaku.
Jawaban yang diberikan oleh gadis cantik dengan senyum indah itu, sungguh sangat melegakanku.
“Beneran? Ya mau lah! Jadi kan gue di rumah tinggal ngulang dikit aja. Abisan, susah Deb. ‘Gak ada yang ngajarin gue!”
“Emangnya, Om lo ‘gak bisa ngajarin? Kata lo, dia kuliah? Harusnya lebih pinter lah dari bokap gue yang lulusan SMA doang?”
Kembali, pertanyaan yang tidak bisa kutemukan jawabnya. Berbohong, entah mengapa tidak terlintas. Tidak seperti kalau aku makan bakwan di kantin sekolah. Habisnya empat, yang aku bayar cuma dua.
“Yah, ‘ga tau deh, gue. ‘Ntar kapan-kapan gue tanya ke nenek gue, biar lo ‘gak nanya mulu!”
Akhirnya, kututup tanyanya dengan jawaban tak pasti. Sekadar memuaskan rasa penasaran, yang sebenarnya juga kerap menjadi misteri bagiku.