Notasi Hati
“Ada seonggok daging dalam tubuh manusia. Meski bernyawa, tapi bukan manusia itu pemiliknya. Hati, hanya digerakkan oleh rasa dengan perantaraan ijin Tuhan.”
Azan Subuh baru usai berkumandang. Kubersiap menuju masjid dekat kos.
Terdengar suara ‘whatsapp’. Dari nadanya, kutahu itu dirimu.
Tak ingin menunda panggilan yang utama, terus saja kaki ini menuju tempat ibadah.
Saat kembali, langsung saja menyiapkan sarapan pagi dan bekal sekolah untuk buah hati. Siap sudah. Aku baru teringat bunyi pesan tadi. Kubuka, rupanya kau hanya mengirim tautan pada sebuah situs lagu.
Segera kuklik tulisan biru penanda tautan itu. Aduhai, rupanya lagu Tulus yang berjudul teman hidup. Sedikit mengernyitkan dahi, mencerna lantunan kata indah yang didendangkan. Lambat laun, kedua ujung bibirku pun menaik. Sejurus kemudian, pecahlah senyumku.
‘Dia indah, peretas gundah
Dia yang selama ini ku nanti
Pembawa sejuk, pemanja rasa
Dia yang selalu ada untukku
Di dekatnya aku lebih tenang
Bersamanya jalan lebih terang
oh… uho… ho…
Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku
Berdua kita hadapi dunia
Kau milikku, milikmu kita satukan tuju
Bersama arungi derasnya waktu’
Di pagi yang masih berembun, ada rona yang kembali hadir. Rasamu tentang aku. Selama ini selalu kutanya, mulai kau ungkapkan. Bukan dengan coretan aksara, karena berkeras dirimu menegaskan, kau bukan pujangga. Tidak jua melalui gelontor materi, yang jelas terpampang nyata hingga detik ini, masih saja maafmu tercuat kala menemuiku yang memanjangkan lapar.
‘Kau milikku, ku milikmu
Kau milikku, ku milikmu
Di dekatnya aku lebih tenang
Bersamanya jalan lebih terang
Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku
Berdua kita hadapi dunia
Kau milikku, milikmu kita satukan tuju
Bersama arungi derasnya waktu
Bila di depan nanti
Banyak cobaan ….’
Lagu. Selamanya, selalu lewat untaian kata yang berhias notasi. Beriramakan nada sama, hampir sama ketukannya dari awal hingga usai. Jazz atau blues, mungkin.
Akhirnya, aku memahamimu. Meski bukan lewat kayu yang terpanggang menjadi abu. Pun tidak melalui awan yang mengundang hujan.
Wahai, jiwa yang penuh misteri.
Lihatlah, senyumku. Tatap mataku. Melalui binar gembiranya, kau pasti tahu. Hatiku tertawa, bahagia. Dalam diam lisanmu, kutemui rasa kepemilikan terhadapku yang begitu egois. Sungguh, melambung rasa di dalam sini, relung hati.
Kutekan pilihan kamera. Dengan bibir yang tetap mengulas senyum lebar.
‘Halo … masih tidur yaa?”
“Heem, wong kliatan gitu, masih tanya,” jawabnya dengan nada malas. Nyawa yang terkumpul masih dicicil, mungkin sampai satu jam ke depan.
“Huuu, semalem nginputnya udah slesai, belum? Kapan ke Jogja … kangeen!” cecarku, tak peduli jika dia masih setengah sadar.
“Udah buka link-nya belum?” tanyanya, berbeda. Selalu begitu, dasar lelaki pemalu tapi kucintai separuh nafas.
“Iya, udah. Ya wis, ditunggu di Jogja ya. Awas, jangan kebablasan tidurnya. Ntar telat, nggak dibukain gerbang sama satpam!”
“Emangnya anak sekolah! Kamu tuh, masih pagi ngajak becanda aja. Mwah!” serunya sembari berdiri dari tidurnya.
Kembali, aku pun menyunggingkan senyum lebar. Biar saja, gigiku kering. Peristiwa seperti pagi ini, langka tercipta.
“Udah dulu, ya. Bocahnya udah keluar kamar mandi. Ndak nanti ngambek, mogok deh ke sekolah. Nggak pake mwah, ambil sendiri ke Jogja!”
Segera kuputus sambungan kamera berbicara. Melanjutkan rutinitas pagi. Kali ini, dengan tambahan nutrisi jiwa, hati gembira digombali yang halal.
Ahh, I love you, too. My dear husband. Jaga selalu, kasihmu padaku.
catatan:
lirik lagu: Teman Hidup
Penyanyi dan pencipta lagu: Tulus