( Cerita berkisah sekitar pertengahan tahun ’80-an )
Aku suka menulis. Saat kecil, tiada sosok dewasa tempatku meluapkan semua rasa. Secepat jemari ini bisa merangkai huruf, seketika sunyiku mulai sirna.
Aku ingat betul. Menggambar dan mengarang adalah hal paling membahagiakan kala itu. Saking larutnya,saat bersekolah, di dua pelajaran itu, aku selalu paling terakhir mengumpulkan tugas.
Bukan karena tidak bisa, melainkan, terlalu banyak yang ingin dituliskan, saking tiada tempat tuk bercerita.
Aku senang membaca. Sayangnya, media yang ada, tak bisa menuntaskan hausku. Koran harian, komik picisan, kertas sisa pembungkus cabe pun, tak luput dari sasaran mataku yang bulat dan berwarna coklat. Mengeja aksara menjadi sebuah petualangan tiada ujung. Jendela dunia, perlahan mulai terkuak. Menjadi siapa atau bahkan siapa pun, bisa kubayangkan.
Otak merekam semua yang kubaca. Perlahan, tanganku pun tak sabar bergerak. Secoret demi secoret. Hingga mewujud dalam gambar. Obyek yang jadi idaman, seekor kucing manis. Wajahnya putih, bentuk mulut membulat. Di atasnya, terhias kumis tiga pasang.
Sehabis menggambar kucing itu, ada rasa gembira. Seolah hanya dia temanku satu-satunya. Mata mengerjap, buku gambar terus saja kupandangi.
“Nisa, mana tugasmu?” Suara Ibu Guru terdengar dari depan kelas.
“I-iya, Bu,” sahutku seraya beranjak dari bangku. ‘Ah, semoga bisa dapat nilai bagus’, batinku memuji.
“Naah, gambar apa yaa, ini?” tanya bu guru, tapi sepasang matanya tak lepas memandangi karyaku.
“Nisa gambar helo kiti, Bu Guru. Kemarin lihat contohnya di tas kakak,” jawabku bersama keringat yang tetiba hadir. Kembali, tenggorokanku mulai tercekat.
“Waaah, bagus! Apa di tas kakakmu, ada gambar ayunan juga?” Kembali, wanita dengan sorot mata tajam tetapi penuh keibuan itu bertanya. Kali ini, wajahnya sempurna menatapku. Padahal, suaraku mulai mengecil, persis kucing bangun tidur, lirih.
“Eeng … tidak, Bu. Ayunan itu hanya tambahan saja. Kasian, kalo kucingnya main sendiri,” jelasku mengenai gambar itu, berharap perempuan separuh abad itu tidak melanjutkan tanya. Tolonglah, sakit di leher ini makin mencekat saja.
Selalu begini. Leher tercekat, lupa bernapas, pelupuk mata membasah. Kedua lubang hidung segera menghirup udara, sedalam yang bisa dihimpun dada. Sejurus kemudian, mulutku menganga tanpa suara.
Wajah berkacamata dengan keriput di kulit itupun menanti dengan sabar. Penjelasan tentang apa yang kugambar. Suka atau tidak, mulut yang kelu ini harus bisa berkata. Mendadak, aku berharap bel sekolah, lekas berdering. Kegugupan membuat lapar.
“Pokoknya, ayunan itu, harus ada. Bagusan gitu, kok Bu!” kukuh, kubertahan.
“Kamu pernah, naik ayunan?” tanyanya, lembut menyelidik.
“Be-lum, Bu.”
“Pingin merasakan main ayunan?”
Hanya anggukan kepala yang mampu kulakukan. Tuhan … ada apa ini. Mengapa perkara gambar ayunan bisa jadi sesusah ini? Tatapanku beralih pada sepatu hitam. Tanganku menyeka air yang menetes, membasahi lantai kelas. Pandangan mulai mengabur, terasa panas di area wajah. Padahal suhu kelas lumayan sejuk.
“Ya, sudah. Bagus kok, gambar kamu. Lain kali, jangan melamun ya, di kelas.” Akhirnya, usai sudah. Aku berjalan kembali ke bangku. Tak lupa, menyunggingkan senyum seraya memajukan bagian wajahku. Dalam hati, aku berusaha mencatat pesan dari sosok yang sudah seperti ibuku sendiri. Gambar kucing manis, hari ini sudah membuat menangis.
Bel pulang sekolah akhirnya benar-benar berbunyi. Usai sudah pelajaran hari ini. Kucing manis yang kugambar tersimpan rapi dalam tas. Nanti malam ada tugas lainnya, yang tak kalah susah. Namun, sekaligus mulai mengusik kembara khayalku, membaca.
Sehabis bangun tidur siang, aku lalu pergi mandi. Setelah rapi, aku mulai mengerjakan tugas dari sekolah. Kulirik buku bahasa indonesia. Jemari perlahan membuka halaman demi halaman. Keringat dingin mulai muncul. Hanya tulisan budi, wati, ibu dan bapak yang kuingat. Aah, benci rasanya!
“B-u … bu. D-i … di. Bu-di. P ….” Cukup sudah. Aku benar-benar hanya menghapal bentuk kata, bukan huruf, seperti seharusnya.
“Bu … di. Pe … pe ….”
Ingin sekali, saat sedang mengeja begitu, buku yang kupegang bisa bersuara. Setidaknya, baju rumahku aman dari cucuran keringat. Duh, sepertinya aku harus menunggu kepulangan Om Wawan, nanti malam. Semoga, dia berkenan mengajariku. Entah sampai kapan episode membaca harus kulalui.
Teringat pesan guru di sekolah. Buku adalah jendela dunia, membaca sebagai gerbang ilmu. Bagaimana mau membuka jendela, jika aku tak tahu cara membukanya? Baiklah, saatnya memenjarakan airmata. Jangan luluh, jika ia memaksa keluar di saat yang tidak tepat!
Dunia! Jangan tinggalkan aku!
Usai salat Magrib, terdengar suara Om Wawan di ruang tamu. Kuintip dari balik pintu kamar. Buku Bahasa Indonesia, erat tercengkeram. Semoga, lelaki berkulit putih dengan dekik di sepasang pipi itu, mau mengajariku. Tatap matanya yang tajam, mencerminkan jika ia orang yang cerdas. Walaupun kami hidup dalam satu rumah, aku belum pernah bercakap-cakap dengannya.
Seraya menyodorkan buku, mulutku pun bertanya, “Om, bisa tolong ajarin Nisa, ngga? Besok ada tugas membaca ke depan kelas.”
Baru begitu saja, keringat sudah mengalir deras di sekujur badanku. Beginilah jika tidak terbiasa berbicara dengan orang lain. Terbiasa hanya mendengar, tanpa pernah diajak berkomunikasi. Seakan sosokku tidak perlu untuk dianggap ada. Ah, aku harus bisa mengikis kekurangan ini.
“Apa, ooh … kamu sudah masuk sekolah, ya? tanya Om Wawan, sembari memamerkan lesung pipitnya. Wajah yang semula terlihat serius itu, seketika tampak manis. Sedikit menurunkan kadar gugupku.
“Iya, Om. Tolongin, ya. Nisa belum tau kalau hurufnya sudah jadi kata. Bingung bacanya,” jawabku dengan suara berat.
Sepertinya aku tidak sedang makan apapun. Namun, leherku terasa sakit jika berbicara.
“Ya, udah. Nanti Om ajarin. Tunggu sebentar ya, mau makan dulu. Laper!” serunya seraya menjauh dariku, menuju meja makan.
“Iya, Om. Makasih, ya,” balasku sembari mulai membuka buku dan menyiapkan alat tulis.