Part 1
Kala Matahari Terbit
Satu minggu sudah kami menikah. Dua insan bersatu dalam ikatan suci di depan wali dan penghulu. Mengikrarkan janji untuk saling menjaga hak dan kewajiban masing-masing sebagai seorang istri dan suami.
Memang waktu terasa berlalu begitu cepat. Tidak ada getaran dan tanda saat pertama kali bertemu di bulan Januari. Ketika Ali datang untuk melamar sebagai salah satu guru di sekolah. Kebetulan, aku yang menjadi pewawancaranya. Tidak sedikit pun ada desiran di dalam hati saat pandangan kami saling bertemu.
Bulan Februari, Darma–teman Ali–menemuiku di kantin sekolah. Kami berbicara layaknya teman sejawat. Hingga, Darma menyatakan sesuatu yang cukup membuatku tercengang. Pikiranku langsung saja bergeliat. Apa yang membuatnya tiba-tiba mengucapkan pertanyaan itu? Apa yang dia harapkan dari perempuan sepertiku? Seorang wanita kuper yang tidak mengenal model dan gaya, tidak cantik seperti artis korea, bahkan keimananku pun belum bisa disamakan dengan wanita sholehah lainnya.
“Bu Nina, Pak Ali ingin melamar Bu Nina jika Ibu bersedia,” kata Darma.
Begitu santainya Darma mengatakan itu. Entah karena gerakan refleks atau dengan kesadaran penuh aku menganggukkan kepala sebagai isyarat meng-iya-kan. Tidak ada kata yang mampu terucap.
Keesokan harinya, aku bertemu dengan Ali di masjid sekolah. Suasana sepi karena anak-anak sudah masuk ke kelas setelah jam istirahat shalat Zuhur dan makan siang usai. Ali menceritakan semua nasab, bibit, bebet, dan bobot keluarganya di kampung halaman. Kisah keluarganya, bagaimana ayahnya meninggal dengan misterius. Aku hanya diam mendengarkan dari balik hijab.
Padahal, aku ga pernah sekalipun mempedulikan latar belakang seseorang. Bagiku, sikap orang tersebut saat ini adalah yang terpenting. Satu hal yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuaku adalah bencilah sikap seseorang bukan individunya. Begitulah nilai yang selalu ada di dalam pikiran ketika berhadapan dengan orang lain. Karena sikap bisa dirubah, tapi individu adalah karunia dari Allah.
“Silahkan datang ke rumah jika ingin melamar.” Satu kalimat untuk mengakhiri pertemuan kami yang ke sekian kala itu.
Pertengahan bulan Maret Ali datang ke rumah bertemu dengan kedua orang tuaku. Tidak ada rombongan arak-arakan dan acara besar-besaran dalam prosesi lamaran kami. Ali hanya didampingi oleh pamannya sebagai wakil dari keluarganya di kampung. Sementara di rumah hanya ada Mama, Paman, Bibi dan adik-adik.
Sudah ditetapkan di Lauh Mahfudz, bahwa kami menikah di pertengahan bulan April. Tiga hari sebelum bulan Ramadhan. Saudara dan kerabat cukup tercengang dengan proses menuju pernikahan kami yang begitu cepat. Semua sudah ditetapkan dan atas dasar keimanan dan keyakinan akan takdir Allah Swt.
Jika sudah sama-sama cinta pada Allah Swt. Biarkan Sang Pembolak-balik hati yang mengambil kuasa.
Semua tamu sudah pulang, malam kian sunyi. Kini, hanya kami berdua di kamar pengantin yang didekorasi dengan kembang-kembang. Membuat aroma wangi semerbak di seluruh ruangan.
“Aku lagi datang bulan.” Tersenyum aku menyampaikan kabar tersebut saat ia membuka jilbabku di kamar pengantin. Kegiatan buka kado menjadi cara menghabiskan malam pertama kami.
~Retno Qren~